Menilai Pemerintah dan Politik Dari Kasus Kenaikan Harga BBM
Ketika kita memberikan sebuah penilaian pada hakikatnya tidak ada
penilaian yang objektif, karena semuanya bersumber dari rasio. Sedangkan rasio
mempunyai keterbatasan sesuai dengan cara pandang masing-masing individu,
sejatinya kebenaran dan keadilan yang hakiki hanya menurut Allah SWT. Namun
dalam artikel ini penulis mencoba memberikan penilaian semurni mungkin mengenai
“Penilaian Pemerintah dan Politik Dari Kasus Kenaikan Harga BBM” dengan
bersumber kepada kenyataan yang hadir didepan masyarakat, kemudian
merefleksikannya dengan falsafah dan ideologi bangsa yang kita anut sebagai
rujukan yang jelas dalam memberikan penilaian.
Negara pada esensinya ada
dan hadir untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai bersama. Dalam kasus
di Indonesia, Indonesia memiliki 3 tujuan yang ingin dicapai yaitu mencapai
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
perdamaian dunia. Tujuan - tujuan ini berasaskan kepada sebuah kesatuan
landasan idiil dan konstitusional yaitu Pancasila dan UUD 1945. Ketika sebuah
negara bertindak menyalahi tujuan-tujuan dan atau landasan idiil yang ada dalam
menentukan segala macam langkah yang akan diambil, maka dengan sendirinya
negara itu menyalahi eksistensinya sendiri sebagai sebuah negara karena sifat
landasan idiil yaitu sebagai sebuah rel yang harus dilalui sebelum mengeluarkan
keputusan apapun. Tujuan utama yang ingin dicapai sebuah negara adalah mencapai
kesejahteraan umum. Kesejahteraan sasaran utamanya yaitu bagi semua elemen
masyarakat. Negara ada untuk rakyat dan bukan sebaliknya. Kebijakan pemerintah
yang mengorbankan kehidupan rakyat merupakan bukti bahwa negara bersifat
egoistis untuk menyelamatkan kehidupan kenegaraan. Padahal Indonesia adalah
negara berazaskan kerakyatan dan menuju tercapainya keadilan sosial sebagaimana
yang tercantum pada landasan idil Pancasila yaitu pada poin; “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dan “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
BBM adalah suatu
variabel yang sangat penting dari ukuran sebuah kesejahteraan rakyat. Kebijakan
terkait BBM adalah sebuah kebijakan yang luar biasa penting dan bisa berefek
domino apabila tidak ditimbang dengan sebaik-baiknya. Kita melihat kebijakan
yang diambil pemerintah untuk hal ini tidak sama sekali berangkat dari
pandangan kebijaksanaan untuk kehidupan kerakyatan. Kenaikan harga BBM yang
nyaris disahkan pada 1 April kemarin adalah sebuah kebijakan yang dapat
dikatakan tidak bijak dan terburu buru, karena hanya melihat dari satu sisi
yaitu bagaimana menyelamatkan APBN tahun ini. Yang harus kita garis bawahi ,
faktor pembentuk negara adalah rakyat, dan negara ada untuk rakyat. Jadi segala
kebijakan yang diambil pemerintah seharusnya berawal dari pandangan kerakyatan.
Saat ini, alasan utama pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah
penyelamatan APBN, karena jika tidak APBN akan jebol dan negara akan ambrol.
Akan tetapi sama sekali tidak ada suatu pandangan dalam menimbang kebijakan ini
bagaimana rakyat berpenghasilan rendah bisa tetap makan sehari-hari. Saat ini
saja makan sudah sulit, apalagi untuk kedepan apabila harga BBM benar dinaikkan
maka sudah bisa dipastikan keadaan akan tambah susah bagi mereka yang
berpenghasilan rendah. Fakta yang terjadi pada saat ini, dana APBN yang
ditakutkan akan jebol apabila BBM tidak dinaikkan, selama ini juga sudah jebol
dengan rencana anggaran yang “aneh-aneh”, tidak rasional, dan tidak
berlandaskan landasan idiil untuk mencapai kesejahteraan umum”. Contohnya
adalah anggaran pembangunan fasilitas dan gedung DPR, anggaran makanan untuk
rapat yang berlebihan, anggaran studi banding yang tidak jelas tujuannya dsb.
Jika memang alasan utamanya adalah untuk penyelamatan APBN, yang jadi
pertanyaan besar kenapa tidak dikurangi saja anggaran untuk pos-pos kegiatan
yang sifatnya tidak rasional dan tidak bisa dikatakan berlandaskan idiil
tersebut.
Perlu diingat pada awal tahun ini, Presiden menyampaikan suatu
pernyataan yang
pada intinya menyatakan apapun yang akan terjadi pada tahun ini,
Harga BBM tidak akan naik. Didalam opsi yang ditawarkan pasca kenaikan BBM ,
pemerintah menawarkan paket kompensasi seperti BLSM (BLT model baru), kebijakan
penyaluran raskin dsb. Kebijakan kenaikan harga BBM adalah sebuah kebijakan
yang sangat rentan secara politis, baik bagi partai yang pro terhadap kebijakan
kenaikan BBM maupun bagi partai yang menolak kebijakan tersebut. Dari dinamika yang
terus berkembang dalam sebulan terakhir, sangat dikhawatirkan kebijakan ini
hanya menjadi sebuah komoditas politik yang sebenarnya benar-benar tidak
pro-rakyat. Kita dapat menyimpulkan suatu kesimpulan seperti ini, berkaca dari
pengalaman kenaikan harga BBM yang terjadi pada tahun 2005 dan 2008. Suatu kebijakan
yang pada akhirnya menuai banyak kontroversi. Sebenarnya terdapat banyak pembelajaran
dari pengalaman menyangkut kenaikan BBM pada tahun 2005 dan 2008. Namun
sayangnya, kita melihat sampai pada saat ini tidak ada suatu pembelajaran yang diambil
dari kebijakan masa lalu. Alternatif yang diberikan pemerintah pada waktu itu
terkait kenaikan harga BBM adalah pemberian kompensasi BLT.
Berbicara mengenai
BLT, mungkin secara sepintas kebijakan pemberian BLSM (BLT model baru) dsb.
Sudah sesuai dengan landasaan idiil negara kita yaitu untuk mencapai
kesejahteraan umum. Namun apabila kita telaah lebih lanjut, ini hanya sebuah
usaha “pembungkaman implisit” agar masyarakat tidak menjerit protes
pasca kenaikan BBM. Yang ingin dicapai dari kebijakan BLSM adalah kesejahteraan
umum, tapi apabila masyarakat miskin kota yang ditemui setelah penelitian
kualitatif Kastrat ICMI sama sekali tidak ada yang mendapatkan BLT pada
beberapa tahun yang lalu (Pikiran Rakyat, 23/03/12), apakah dapat dikatakan ini
benar sebuah kebijakan untuk kesejahteraan umum? Kebijakan BLSM 2012 ini hanyalah
BLT model baru dengan sebuah nama dan jumlah nominal yang baru. Negara
seakan-akan tidak membuka mata atas keadaan yang dirasakan oleh masyarakat saat
ini ketika akan menerapkan BLSM sebagai kompensasi kenaikan BBM berdasarkan
dari pengalaman BLT yang gagal. Apa yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
melalui kebijakan BLSM tidaklah menyelesaikan akar permasalahan untuk sekedar
membuat kenyang perut masyarakat. Sebelum adanya pencabutan subsidi pun 26 juta
masyarakat Indonesia yang terhitung miskin sulit untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Apalagi ketika harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi akan
tersulut naik ketika harga BBM turut naik. Maka uang sebesar Rp.150.000/bulan
yang apabila kita tilik lebih dalam sebenarnya adalah sebesar Rp.5000/ hari
tidaklah sama sekali akan membantu perekonomian pada takaran rumah tangga.
Melalui sisi moralitas, pemerintah dapat dikatakan tidak memiliki
perasaan apabila hanya melihat perspektif makro yang direprentasikan pada
hitungan-hitungan nominal yang tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang
sebenarnya. Segala hitungan diatas pun hanya berlaku bagi orang yang menerima
BLSM, padahal banyak orang miskin namun tidak mendapatkan BLT (BLSM) karena
tidak memenuhi kriteria tertulis yang sifatnya terkadang tidak sesuai dengan
kondisi riil kemiskinan. Seseorang mempunyai motor dianggap tidak miskin,
padahal tidak selamanya seseorang punya motor itu kaya, coba berfikir apabila
seorang kepala rumah tangga yang bekerja dengan satu motor namun dia harus
menghidupi 8 anggota keluarga yang lainnya, yang kesemuanya tidak bekerja.
Sungguh ironi, lagi-lagi
orang kecillah yang menjadi korban. Pemerintah terkesan tidak bernurani dengan
kebijakan yang menyusahkan rakyat, partai politik hanya mementingkan partainya.
Kalau sudah demikian, pertanyaan besar untuk kita adalah, “kapan negeri ini
akan keluar dari keterpurukan?”. Sebuah jawaban yang harus dicari bagi kita,
para generasi muda. Cukup sudah kita menderita, Indonesia adalah negara
yang kaya dan kekayaan itu milik kita, bukan milik asing..!!
1 komentar:
Alhamdulillaah...
Posting Komentar